Pesan Direksi

Airlangga Professional Nurses (APN) adalah sebuah forum yang akan membahas all about nursing thing dalam sebuah format yang berbeda. Melalui APN, diharapkan seluruh tenaga perawat dapat sama-sama belajar dan menambah wawasan dengan cara yang "tidak biasa" serta mudah dimengerti sekaligus applicable. Selain itu, masyarakat juga dapat lebih mengenal perawat, berbagai jenis penyakit, dan dunia kesehatan dengan lebih baik. Jadi, belajar tidak harus bikin kepala tegang, bukan? Mari belajar, memahami, menanamkan dalam hati, lalu menerapkan dalam keseharian. "Menjadi berwawasan adalah sebuah pilihan menjadi bijak."

Minggu, 08 Mei 2011

Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cidera Otak


DEFINISI
Trauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual, emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer,2000)

EPIDEMOLOGI
Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan–2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat.

ETIOLOGI
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala antara lain:
  1. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak),
  2. pertengkaran,
  3. jatuh,
  4. kecelakaan olahraga,
  5. tindakan criminal

KLASIFIKASI
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
  1. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi apabila benturan hebat pada objek yang keras atau benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian otak yang muncul keluar.
  2. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi kepala nampak dari luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak termasuk dura. Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai kesadaran:
  1. Cidera otak ringan (GCS 13 – 15): tidak terjadi ganggguan neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran selama kurang dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam
  2. Cidera otak sedang (GCS 9 – 12): penurunan kesadaran dalam 1-24 jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.
  3. Cidera otak berat (GCS 3-8): penurunan kesadaran lebih dari 24 jam dan amnesia post trauma lebih dari satu minggu.
Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :
  1. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan diatasnya ada burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi, letargi, pusing.
  2. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripada concussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan arteri otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.
  3. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-deselerasi atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pada daerah otak yang mengalami memar. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala yang parah, kompresi batang otak, keabnormalan pernafasa (pernfasan dalam), gangguan motorik yang bersifat kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah dengan trauma, kejang, perdarahan. Epidural hematoma merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi pada artesi otak.
  4. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi. Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada daerah subdural (antara duramater dan arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri). Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat karena sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
  5. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada bagian frontal dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi. Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik, peningkatan tekanan intracranial.
  6. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear, comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab trauma, displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada tulang mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.

Gambar dikutip dari smeltzer (2000)

PATOFISIOLOGI
Kerusakan akibat cidera otak tidak seluruhnya terjadi pada saat trauma itu terjadi. Berdasarkan waktunya, kerusakan akibat trauma otak dibagi menjadi kerusakan primer, yaitu efek yang muncul beberapa saat setelah kejadian seperti kontusio, perdarahan, memar atau lain sebagainya. Tipe kedua adalah kerusakan sekunder,yaitu kerusakan pada otak yang terjadi beberapa jam atau hari setelah kejadian (Smeltzer, 2000). Merupakan tahap lanjut dari kerusakan primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai seperti meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron lanjut, iskemia, atau hipertermi (Japardi, 2002). Kerusakan sekunder ini sering terjadi akibat ketidakefektifan pemberian intervensi oleh petugas kesehatan. Kerusakan pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ- organ lain. Pada otak, dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika terjadi memar atau perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan yang berada dalam tulang tengkorak. Oleh karena tulang tengkorak yang tidak dapat mengembang, sebagai akibatnya perdarahan yang mengalir akan mendesak tulang tengkorak ke dalam(ke jaringan otak). Jika hal ini terus dibiarkan maka jumlah cairan dalam tulang tengkorak akan meningkat dan akan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial. Tahap selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya gangguan pada aliran darah menuju otak. Peningkatan tekanan ini akan menurunkan aliran darah ke otak sehingga jaringan otak mengalami hipoksia dan terjadilah iskemia. Pada keadaan hipoksia, otak akan melakukan metabolisme anaerob untuk memenuhi kebutuhan energy sel nya. Metabolisme anaerob menghasilkan asam laktat. Herniasi otak terjadi setelah proses iskemia berlangsung.

SIGN and SYMPTOM
Tanda dan gejala dari cidera otak secara umum antara lain:
  • Penurunan kesadaran
  • Keabnormalan pada sistem pernafasan
  • Penurunan reflek pupil, reflek kornea
  • Penurunan fungsi neurologis secara cepat
  • Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
  • Pusing, vertigo
  • Mual dan muntah
  • Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik
  • Amnesia
  • Kejang

PENEGAKAN DIAGNOSA
  1. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
  2. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).
  3. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.
  4. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang tengkorak.
  5. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur dalam otak

PENATALAKSANAAN
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):
  1. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
  1. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
  1. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
  1. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
  1. Pemeriksaan radiologi
  2. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
    1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
      • Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
      • Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
  1. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
  1. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
  1. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
      • Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
      • Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau bagian tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.

KOMPLIKASI
  1. Peningkatan tekanan intra cranial
  2. Infeksi
  3. Gagal nafas
  4. Herniasi otak

ASUHAN KEPERAWATAN
  1. Pengkajian
  • Anamnesa: pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing, mual atau bahkan penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan – 2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat
  • Pemeriksaan fisik:
B1: perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan, peningkatan frekuensi nafas
B2: hipertensi, hipotensi, taki kardi, bradikardi, CRT > 3 detik, sianosis
B3: nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan reflek pupil
B4: inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi urin
B5: mual, muntak, reflek menelan mengalami penurunan, konstipasi
B6: kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak
  1. Diagnosa keperawatan
  1. Bersihan jalan nafas tak efektif
  2. Gangguan pertukaran gas
  3. Ketidakefektifan pola nafas
  4. Gangguan perfusi jaringan cerebral/ perifer
  5. Nyeri akut
  6. PK PTIK
  7. Resiko cidera
  8. Gangguan mobilitas fisik
  9. Gangguan pola eliminasi urin/ fekal
  10. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
  11. Kelemahan

KASUS

Riwayat Penyakit:
Nn. Sinden (21 tahun) datang ke Rumah Sakit Vardgivare pada tanggal 28 September 2001 dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Pasien datang dibawa oleh polisi yang menemukannya tidak sadar di jalan akibat kecelakaan sekitar 5 jam sbelum MRS. Dokter mendiagnosa nona Sinden dengan COB+FBC (fraktur basis cranii)+F. Mandibula. Pengkajian yagn dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2001 didapatkan hasil TTV = TD:120/70 mmHg nadi 78 kali permenit, RR: 18 kali permenit, dan suhu aksila 36,7 derajat celcius. Pasien terpasang trakheostomi, alat bantu nafas simple mask dengan flow oksigen 8 lpm, pada auskultasi paru didapatkan ronchi basah di seluruh lapang paru. Akral pasien teraba hangat, penilaian tingakt kesadaran didapatkan GCS : 3 X 5. Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir didapatkan: Hb 9,09 mg /dL, RBC 3,19 10^6, HCT 29,3 %. Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya perdarahan intracerebri. Terapi yang diperoleh ciprofloxacin 2x 400 mg, cefazolin 2 x 100 mg, antrain 2x100 mg, ranitidin 3x 1,2 mg, neurotam 3x1 mg.
Diagnosa medis: COB+FBC (fraktur basis cranii)+F. Mandibula
Pengkajian:
Anamnesa: pasien datang dengan keluhan penuruna kesadaran setelah terjadi kecelakaan laulintas 5 jam sebelum MRS
Pemeriksaan Fisik:
  1. Vital sign
TD:120/70 mmHg nadi 78 kali/menit RR: 18 kali/menit suhu: 36,7®C
Sistem Pernafasan (B1)
RR 18 kpm, suara nafas ronchi diseluruh lapang paru, irama teratur,sekret berwarna putih keruh, terpasang trakheostomi dan simple mask 8 lpm
Masalah keperawatan = bersihan jalan nafas tak efektif
  1. Sistem Kardiovaskular (B2)
irama jantung reguler, S1/S2 tunggal, suara jantung normal, CRT < 2 detik, akral HKM
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
  1. Sistem Persyarafan (B3)
GCS= 3X5, pupil isokor, sklera putih, konjungtiva merah muda, reflek patologis kaku kuduk dan kernig sign positif
Masalah keperawatan = gangguan perfusi jaringan cerebral
  1. Sistem Perkemihan (B4)
pasien tidak terpasang kateter, balance cairan terakhir defisit 245 cc
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
  1. Sistem Pencernaan (B5)
pasien terpasang NGT, intake nutrisi 7 x 200 cc terbagi menjadi 6 x 200 cc susu cair dan 1x 200 cc jus buah, retensi terakhir 10cc
Masalah keperawatan = resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
  1. Sistem Muskuloskeletal (B6)
pergerakan sendi bebas, kekuatan otot lengan ka/ki: 5/5 kaki ka/ki: 5/5
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah


Daftar Diagnosa keperawatan:
  1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum
  2. Gangguan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen otak
  3. Resiko infeksi b. d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakeostomi

Rencana Intervensi:
  1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum: ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernafasan guna mempertahankan jalan nafas yang bersih.
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 1x15 menit jalan nafas pasien bersih/paten
Kriteria hasil:
  • Irama nafas teratur
  • Suara nafas vesikuler (tidak terdapat suara nafas tambahan)
  • Frekuansi nafas antara 12-20 kali/menit
  • Tidak didapatkan sekret
  • Saturasi oksigenasi 95-100%.

Intervensi:
  1. Lakukan fisioterapi nafas fibrasi dan suctioning
R/ membantu mengalirkan dahak dan mengurangi akumulasi dahak
  1. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi
R/ meningkatkan suplai oksigen dalam tubuh
  1. Auskultasi paru tiap 4 jam untuk mendengarkan bunyi nafas
R/ identifikasi adanya suara nafas tambahan sebagai tanda adanya produksi sekret yang menyebabkan jalan nafas terganggu
  1. Pantau perubahan sistem pernafasan meliputi RR, suara nafas, SaO2, konsistensi sekret dan irama nafas
R/ sebagai data dasar perkembangan kondisi pasien

  1. Perubahan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen otak: suatu penurunan jumlah oksigen yang mengakibatkan kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat cerebri.
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 1 x 24 jam perfusi jaringan serebral dapat dipertahankan secara adekuat
Kriteria hasil:
  • Pasien akan mempertahankan atau meningkatkan tingkat kesadaran
  • Fungsi kognitif dan sensorik baik
  • Tidak ada tanda PTIK (muntah proyektil, nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran)
  • TTV dalam batas normal (TD= 60-90 mmgh/90-130mmhg, nadi 60-100 kpm, suhu 36,5 – 37,5 derajat celcius, RR 12- 20 kpm)

Intervensi:
  1. Posisikan kepala supine (datar)
R/ menghindari peningkatan tekanan aliran darah menuju otak yang dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial
  1. Pertahankan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung dan aktivitas pasien sesuai indikasi
R/ aktivitas atau stimulasi yang kontinyu dapat menimbulkan PTIK
  1. berikan obat sesuai indikasi
R/ menghindari peningkatan akumulasi cairan dalam otak dan mmbantu menghindari PTIK
  1. pantau status kesadarn secara periodik, TTV, dan tanda – tanda PTIK
R/ memantau perubahan status neurologis, perbaikan kondisi pasien untuk menentukan intervensi selanjutnya

  1. Resiko infeksi b.d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakheostomi: suatu kondisi individu mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogen
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 3x 24 jam tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
  • Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, calor, dolor)
  • Laboratorium menunjukkan hasil normal (WBC dalam rentang 4,5 – 10,0 10^3)
  • Hasil kultur normal
  • Sputum tidak berwarna, berbau, atau purulen.

Intervensi:
  1. Lakukan perawatan trakheostomi dengan teknik steril minimal 2 kali sehari
R/ mencegah infeksi sekunder
  1. Ajarkan keluarga pasien untuk mempertahankan kesterilan area insersi trakheostomi
R/ meningkatkan dukungkan keluarga untuk perbaikan kondisi pasien dan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang kondisi pasien
  1. Kolaborasi pemberian antibioti
R/ sebagai profilaksis atau pengobatan pada kasus infeksi
  1. Pantau hasil laboratorium DL, LED, kultur, dan TTV
R/ mengevaluasi perkembangan kondisi pasien melalui analisa perubahan-perubahan pada hasil lab dan tanda-tanda vital

*Ners note:
  • Penting bagi perawat untuk selalu mengobservasi tingkat kesadaran pasien dengan cidera otak berat (GCS) sebagai parameter perkembangan kondisi pasien dan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi pada otak.
  • Bersihan jalan nafas tak efektif diambil sebagai diagnosa utama karena penurunan jumlah suplai oksigen dalam tubuh akan menyebabkan perburukan kondisi pasien dan menyebabkan gangguan – gangguan lainnya. Selain itu, airway merupakan poin pertama dalam penatalaksanaan mempertahankan fungsi organ.
  • Hati hati pada pasien yang mendapatkan terapi mannitol, selama proses pemberian hendaknya diawasi langsung dan tidak menyerahkan pengawasan kepada keluarga serta perhatikan tekanan darah sebelum dan sesudah pemberian. Selain itu, balance cairan pasien juga penting untuk diobservasi setiap 24 jam. Hal ini karena mannitol bersifat mengikat air yang akan menurunkan tekanan darah dan beban jantung.
  • Coupe: jejas pada daerah yang langsung terkena benturan. Biasanya terjadi pada trauma dimana kepala yang relative diam dihantam oleh benda yang relative bergerak.
Contracoupe: jejas pada daerah yang berlawanan dengan daerah yang langsung terkena benturan. Contracoup terjadi karena jaringan otak menghantam tulang tengkorak bagian dalam. Biasanya terjadi pada trauma dimana kepala yang bebas bergerak membentur benda yang relatif diam


Daftar Pustaka

Carpenito, LJ.,2004. Nursing Care Plans & Documentation: Nursing Diagnoses and Collaborative Problems 4th Edition. Philadelpia :LWW Publisher
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp
Japardi, I., 2002. Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. Medan : USU
Okie, S., 2005. Traumatic Brain Injury in the War Zone, The New England Journal of Medicine, 352:2043-2047.
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher


Tidak ada komentar:

Posting Komentar